Kamis, 26 April 2012

Sejarah Islam-Masyarakat Arab Sebelum Islam


MASYARAKAT ARAB SEBELUM ISLAM (2)

Tulisan ini diangkat dari karya Dr. Abdul Aziz, MA (Chiefdom)

Agama lain yang orang Arab peluk selain Yahudi adalah Nasrani. Agama ini bersemi di kalangan mereka melalui tangan para misionaris yang bekerja dan melebur diri di tengah masyarakat Badui. Diwartakan bahwa Mathran Bashri, seorang misionaris dari Damaskus, menjadi penasihat bagi sekitar 20 uskup yang tersebar di antara orang Arab Hauran dan Ghassan. Untuk maksud misi itu, mereka mendirikan banyak biara, termasuk biara persinggahan para saudagar untuk melepas lelah sambil minum nabidz (sejenis wine) yang dibuat sendiri oleh para pendeta. Kegiatan seperti ini didukung Kekaisaran Romawi yang berupaya menanamkan pengaruh politiknya di wilayah hunia Arab. Selain dipeluk oleh penguasa Kerajaan Ghassan (Ghasasinah) di wilayah Syria, agama Nasrani juga dipeluk oleh penduduk Hirah dan kabilah Taghlib, Iyad dan Bakar di wilayah Irak. Sebagian penduduk Taima, Daumat al-Jandal, Aylah dan Yamamah juga memeluk agama ini. Menjelang kedatangan Islam, orang Nasrani yang ada di Yatsrib, Mekkah, dan Thaif sangatlah sedikit. Tetapi di selatan, kaum Nasrani mendapat pijakan kuat di kota Najran, Ma’rib, San’a, Aden, dan sebagian Himyar. Hal ini menyediakan legitimasi bagi kehadiran Uskup Yaman sebagai peserta Konsili Nicea pada 325 M.
Selain agama-agama yang diuraikan di atas (Yahudi-Nasrani), ada juga orang Arab yang menganut agama atau paham keagamaan dalam jumlah relative sangat kecil, seperti penyembah bintang (Shabi’in) atau pemeluk agama Majusi. Paham keagamaan yang sangat penting tetapi hanya dianut sejumlah kecil orang Arab adalah apa yang disebut dengan hanifiyyah, penganutnya disebut hanif (jamak : hunafa’). Dalam bahasa Arab dan dalam teks-teks Arab selatan, arti kata hanif adalah “al-Shabi’, keluar dari agama kaumnya dan meninggalkan peribadatan mereka”, karena secara kebahasan diartikan “berbelok dari sesuatu dan meninggalkannya”. Sedangkan dalam bahasa Aram, kata itu bermakna munafik, kafir dan mulhid (keluar dari agamanya). Orang Mekkah menyebut Nabi Muhammad dan para pengikutnya al-Shabi’ (jamak: al-Shubat, orang-orang yang ingkar). Tetapi Islam menyebut Hunafa’ sebagai orang-orang terpuji yang mengingkari penyembahan berhala dan menganut agama Nabi Ibrahim. Mereka adalah golongan terpelajar yang mampu membaca dan memiliki sumber bacaan, bahkan memahami bahasa asing dan mengikuti perkembangan pemikiran di luar komunitas mereka sendiri.
Para ahli sejarah maupun ahli tafsir tidak memberi gambaran secara jelas mengenai paham keagamaan kaum Hunafa’: apa saja bentuk peribadatannya dan adakah kitab suci yang menjadi rujukan mereka. Meskipun mereka disebutkan berpegang pada agama Nabi Ibrahim, para ahli tidak memberi kejelasan apa dan bagaimana wujud sebenarnya agama Ibrahim itu. Jadi, tidak ada ajaran agama yang tersusun rapi yang disebut hanifiyyah atau kumpulan penganut yang tertata yang disebut Hunafa’. Karena itu, kaum Hunafa’ dapat diartikan sebagai sejumlah orang dari bermacam kabilah yang tidak memiliki ikatan satu sama lain tetapi mereka sama-sama menganggap nista penyembahan berhala dan akhlak buruk yang tersebar luas di masyarakat mereka saat itu yang menyerukan perbaikan (muslihun) melalui penyembahan kepada Tuhan Yang Maha Esa dan menjauhi akhlak kotor seperti bermabuk-mabukan atau berjudi. Beberapa di antara mereka condong ke agama Nasrani, tetapi tidak memeluknya sebagaimana dilakukan umat Nasrani saat itu. Seruan mereka mirip dengan seruan orang-orang yang menyembah Tuhan Yang Esa Penguasa Langit (Dzu Samawi) atau menyembah Yang Maha Kasih (al-Rahman) di Yaman.

1 komentar: