MASYARAKAT ARAB SEBELUM ISLAM (2)
Tulisan ini diangkat dari karya Dr.
Abdul Aziz, MA (Chiefdom)
Agama lain yang orang
Arab peluk selain Yahudi adalah Nasrani. Agama ini bersemi di kalangan mereka
melalui tangan para misionaris yang bekerja dan melebur diri di tengah
masyarakat Badui. Diwartakan bahwa Mathran Bashri, seorang misionaris dari
Damaskus, menjadi penasihat bagi sekitar 20 uskup yang tersebar di antara orang
Arab Hauran dan Ghassan. Untuk maksud misi itu, mereka mendirikan banyak biara,
termasuk biara persinggahan para saudagar untuk melepas lelah sambil minum nabidz
(sejenis wine) yang dibuat sendiri oleh para pendeta. Kegiatan seperti ini
didukung Kekaisaran Romawi yang berupaya menanamkan pengaruh politiknya di wilayah
hunia Arab. Selain dipeluk oleh penguasa Kerajaan Ghassan (Ghasasinah) di
wilayah Syria, agama Nasrani juga dipeluk oleh penduduk Hirah dan kabilah
Taghlib, Iyad dan Bakar di wilayah Irak. Sebagian penduduk Taima, Daumat
al-Jandal, Aylah dan Yamamah juga memeluk agama ini. Menjelang kedatangan
Islam, orang Nasrani yang ada di Yatsrib, Mekkah, dan Thaif sangatlah sedikit.
Tetapi di selatan, kaum Nasrani mendapat pijakan kuat di kota Najran, Ma’rib,
San’a, Aden, dan sebagian Himyar. Hal ini menyediakan legitimasi bagi kehadiran
Uskup Yaman sebagai peserta Konsili Nicea pada 325 M.
Selain agama-agama yang
diuraikan di atas (Yahudi-Nasrani), ada juga orang Arab yang menganut agama
atau paham keagamaan dalam jumlah relative sangat kecil, seperti penyembah
bintang (Shabi’in) atau pemeluk agama Majusi. Paham keagamaan yang sangat
penting tetapi hanya dianut sejumlah kecil orang Arab adalah apa yang disebut
dengan hanifiyyah, penganutnya disebut hanif (jamak : hunafa’). Dalam bahasa
Arab dan dalam teks-teks Arab selatan, arti kata hanif adalah “al-Shabi’,
keluar dari agama kaumnya dan meninggalkan peribadatan mereka”, karena secara
kebahasan diartikan “berbelok dari sesuatu dan meninggalkannya”. Sedangkan
dalam bahasa Aram, kata itu bermakna munafik, kafir dan mulhid (keluar dari
agamanya). Orang Mekkah menyebut Nabi Muhammad dan para pengikutnya al-Shabi’
(jamak: al-Shubat, orang-orang yang ingkar). Tetapi Islam menyebut Hunafa’
sebagai orang-orang terpuji yang mengingkari penyembahan berhala dan menganut
agama Nabi Ibrahim. Mereka adalah golongan terpelajar yang mampu membaca dan
memiliki sumber bacaan, bahkan memahami bahasa asing dan mengikuti perkembangan
pemikiran di luar komunitas mereka sendiri.
Para ahli sejarah maupun
ahli tafsir tidak memberi gambaran secara jelas mengenai paham keagamaan kaum
Hunafa’: apa saja bentuk peribadatannya dan adakah kitab suci yang menjadi
rujukan mereka. Meskipun mereka disebutkan berpegang pada agama Nabi Ibrahim,
para ahli tidak memberi kejelasan apa dan bagaimana wujud sebenarnya agama
Ibrahim itu. Jadi, tidak ada ajaran agama yang tersusun rapi yang disebut
hanifiyyah atau kumpulan penganut yang tertata yang disebut Hunafa’. Karena
itu, kaum Hunafa’ dapat diartikan sebagai sejumlah orang dari bermacam kabilah
yang tidak memiliki ikatan satu sama lain tetapi mereka sama-sama menganggap
nista penyembahan berhala dan akhlak buruk yang tersebar luas di masyarakat
mereka saat itu yang menyerukan perbaikan (muslihun) melalui penyembahan kepada
Tuhan Yang Maha Esa dan menjauhi akhlak kotor seperti bermabuk-mabukan atau
berjudi. Beberapa di antara mereka condong ke agama Nasrani, tetapi tidak
memeluknya sebagaimana dilakukan umat Nasrani saat itu. Seruan mereka mirip dengan
seruan orang-orang yang menyembah Tuhan Yang Esa Penguasa Langit (Dzu Samawi)
atau menyembah Yang Maha Kasih (al-Rahman) di Yaman.
sipppp
BalasHapus