Jumat, 27 April 2012

Sejarah Islam Indonesia


PERJALANAN SEJARAH UMAT ISLAM BANGSA INDONESIA
Tulisan ini diangkat dari karya Dr. Abdul Aziz, MA (Chiefdom)

Pada tahun 1922 dua tokoh SI Putih yaitu HOS Cokroaminoto dan H. Agus Salim memprakarsai penyelenggaraan Kongres al-Islam Hindia yang pertama di Cirebon. Para peserta kongres terdiri dari tokoh SI Putih, unsure Muhammadiyah, al-Irsyad, serta beberapa tokoh yang dipandang mewakili kubu tradisionalis yang saat itu belum memiliki organisasi sendiri, diantaranya KH A. Wahab Chasbullah dari Surabaya dan KH Asnawi dari Kudus. Kongres sejenis ini berlangsung Sembilan kali secara tidak teratur, terakhir kali diadakan pada 1932.
Dalam serial Kongres al-Islam dibahas berbagai persoalan keagamaan dan respons umat Islam terhadap persoalan kekhalifahan. Pada Kongres I, misalnya didiskusikan mengenai situasi di Turki, walaupun terjadi perbedaan pandangan tentang dukungan terhadap kekuasaan Kemal Ataturk dan pemerintahan khalifah Abdul Majid yang menjadi bonekanya. Pada Kongres II tahun 1924, bersamaan dengan penghapusan kekhalifahan Turki Utsmani dan proklamasi Syarif Husein di Mekkah sebagai khalifah umat Islam, didiskusikan pula mengenai pentingnya kesatuan umat Islam di bawah kekuasaan satu khalifah. Tetapi, para peserta sulit mencapai kesepakatan siapakah yang akan didukung sebagai khalifah bagi kaum Muslim seluruh dunia. Pada bulan Desember tahun ini pula, Kongres al-Islam Luar Biasa diselenggarakan di Surabaya. Kongres ini dipersiapkan oleh kepanitiaan yang disebut Centraal Committee Chilafat, yang dibentuk sebagai respons atas undangan menghadiri Kongres Khilafah yang diterima oleh beberapa tokoh Arab Indonesia pada Oktober 1924.
Dalam Kongres Luar Biasa yang dihadiri lebih dari 600 peserta itu, disepakati untuk mengirim delegasi terdiri dari dua orang, atau tiga orang jika dananya cukup, untuk menghadiri Kongres Khilafah di Kairo, kegita orang yang dimaksud yaitu Haji Fakhruddin dari Muhammadiyah, Haji Abdul Wahab Chasbullah mewakili kaum tradisionalis, dan Soerjopranoto selaku pemimpin SI. Kongres Luar Biasa ini juga menyepakati beberapa rekomendasi tentang “Khilafah yang modern, representative dan dipilih” yang akan dibawa ke Kairo. Butir-butir rekomendasi ini antara lain:
1.      Harus dibentuk sebuah Majelis Khilafah yang dipimpin oleh seorang Khilafah.
2.      Anggota Majelis Khilafah terdiri dari pada perwakilan kaum Muslim dari berbagai Negara untuk masa bakti yang ditetapkan oleh Majelis.
3.      Perlu diterapkan apakah tugas Majelis terhadap masyarakat Muslim dunia mencakup masalah-masalah keduniaan dan keakhiratan, atau hanya terbatas pada masalah keakhiratan saja.
4.      Khalifah harus dipilih oleh para anggota Majelis Khilafah.
5.      Majelis Khilafah harus berkedudukan di wilayah Muslim yang independen seperti Mekkah.
6.      Seluruh pembiayaan Majelis Khilafah ditanggung bersama oleh seluruh kaum Muslim dan dibebankan kepada setiap Negara anggota sesuai kemampuan masing-masing.

Tak lama setelah Kongres Luar Biasa digelar, datang berita dari Kairo bahwa Kongres Khilafah diundur setidaknya satu tahun ke depan. Tetapi pada awal 1925, Ibnu Saud, penguasa baru di Jazirah Arabia, mengumumkan keinginannya untuk menyelenggarakan kongres Muslim sedunia di Mekkah yang menjadikan Muslim Indonesia menghadapi dilemma untuk memilih kongres mana yang akan dihadiri kelak dari kedua kongres yang saling bersaing itu.  Dalam Kongres al-Islam IV pada Agustus 1925 di Yogyakarta, bibit perpecahan antara kaum reformis dan kaum tradisionalis muncul ke permukaan, karena salah satu agenda kongres adalah reformasi social, ekonomi dan kebudayaan berdasarkan prinsip-prinsip ajaran Islam, yang menimbulkan perbedaan penafsiran di antara dua kubu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar