Jumat, 27 April 2012

Sejarah Islam Indonesia


PERJALANAN SEJARAH UMAT ISLAM BANGSA INDONESIA
Tulisan ini diangkat dari karya Dr. Abdul Aziz, MA (Chiefdom)

Pada tahun 1922 dua tokoh SI Putih yaitu HOS Cokroaminoto dan H. Agus Salim memprakarsai penyelenggaraan Kongres al-Islam Hindia yang pertama di Cirebon. Para peserta kongres terdiri dari tokoh SI Putih, unsure Muhammadiyah, al-Irsyad, serta beberapa tokoh yang dipandang mewakili kubu tradisionalis yang saat itu belum memiliki organisasi sendiri, diantaranya KH A. Wahab Chasbullah dari Surabaya dan KH Asnawi dari Kudus. Kongres sejenis ini berlangsung Sembilan kali secara tidak teratur, terakhir kali diadakan pada 1932.
Dalam serial Kongres al-Islam dibahas berbagai persoalan keagamaan dan respons umat Islam terhadap persoalan kekhalifahan. Pada Kongres I, misalnya didiskusikan mengenai situasi di Turki, walaupun terjadi perbedaan pandangan tentang dukungan terhadap kekuasaan Kemal Ataturk dan pemerintahan khalifah Abdul Majid yang menjadi bonekanya. Pada Kongres II tahun 1924, bersamaan dengan penghapusan kekhalifahan Turki Utsmani dan proklamasi Syarif Husein di Mekkah sebagai khalifah umat Islam, didiskusikan pula mengenai pentingnya kesatuan umat Islam di bawah kekuasaan satu khalifah. Tetapi, para peserta sulit mencapai kesepakatan siapakah yang akan didukung sebagai khalifah bagi kaum Muslim seluruh dunia. Pada bulan Desember tahun ini pula, Kongres al-Islam Luar Biasa diselenggarakan di Surabaya. Kongres ini dipersiapkan oleh kepanitiaan yang disebut Centraal Committee Chilafat, yang dibentuk sebagai respons atas undangan menghadiri Kongres Khilafah yang diterima oleh beberapa tokoh Arab Indonesia pada Oktober 1924.
Dalam Kongres Luar Biasa yang dihadiri lebih dari 600 peserta itu, disepakati untuk mengirim delegasi terdiri dari dua orang, atau tiga orang jika dananya cukup, untuk menghadiri Kongres Khilafah di Kairo, kegita orang yang dimaksud yaitu Haji Fakhruddin dari Muhammadiyah, Haji Abdul Wahab Chasbullah mewakili kaum tradisionalis, dan Soerjopranoto selaku pemimpin SI. Kongres Luar Biasa ini juga menyepakati beberapa rekomendasi tentang “Khilafah yang modern, representative dan dipilih” yang akan dibawa ke Kairo. Butir-butir rekomendasi ini antara lain:
1.      Harus dibentuk sebuah Majelis Khilafah yang dipimpin oleh seorang Khilafah.
2.      Anggota Majelis Khilafah terdiri dari pada perwakilan kaum Muslim dari berbagai Negara untuk masa bakti yang ditetapkan oleh Majelis.
3.      Perlu diterapkan apakah tugas Majelis terhadap masyarakat Muslim dunia mencakup masalah-masalah keduniaan dan keakhiratan, atau hanya terbatas pada masalah keakhiratan saja.
4.      Khalifah harus dipilih oleh para anggota Majelis Khilafah.
5.      Majelis Khilafah harus berkedudukan di wilayah Muslim yang independen seperti Mekkah.
6.      Seluruh pembiayaan Majelis Khilafah ditanggung bersama oleh seluruh kaum Muslim dan dibebankan kepada setiap Negara anggota sesuai kemampuan masing-masing.

Tak lama setelah Kongres Luar Biasa digelar, datang berita dari Kairo bahwa Kongres Khilafah diundur setidaknya satu tahun ke depan. Tetapi pada awal 1925, Ibnu Saud, penguasa baru di Jazirah Arabia, mengumumkan keinginannya untuk menyelenggarakan kongres Muslim sedunia di Mekkah yang menjadikan Muslim Indonesia menghadapi dilemma untuk memilih kongres mana yang akan dihadiri kelak dari kedua kongres yang saling bersaing itu.  Dalam Kongres al-Islam IV pada Agustus 1925 di Yogyakarta, bibit perpecahan antara kaum reformis dan kaum tradisionalis muncul ke permukaan, karena salah satu agenda kongres adalah reformasi social, ekonomi dan kebudayaan berdasarkan prinsip-prinsip ajaran Islam, yang menimbulkan perbedaan penafsiran di antara dua kubu.

Sejarah Islam-Masyarakat Arab Sebelum Islam

MASYARAKAT ARAB SEBELUM ISLAM (3)

Tulisan ini diangkat dari karya Dr. Abdul Aziz, MA (Chiefdom)
 

Menurut berbagai riwayat, ciri-ciri umum mereka (kaum Hunafa) adalah beriman dan menyembah Tuhan Yang Esa, sekaligus menolak menyekutukan Tuhan dan menyembah berhala, melaksanakan ibadah haji ke Baitullah, mandi karena junub (bila keluar air mani atau bersenggama), berkhitan (yang sebenarnya merupakan adat orang Arab seluruhnya kecuali pemeluk Nasrani), menganggap berkurban sebagai wujud ibadah dan asketisme terpenting, tetapi menghindari makan daging kurban yang disembelih sebagai persembahan kepada berhala, melakukan pengembaraan ke berbagai wilayah atau bersunyi diri (I’tikaf, tahannuts) di gua atau tempat sunyi untuk mencari dan menemukan kebenaran, bangun dan berjaga di malam hari setelah tidur (tahajjud), mengharamkan riba, menghukum pencuri dengan memotong tangannya, mengharamkan memakan bangkai, darah dan daging babi, melarang menguburkan anak perempuan hidup-hidup, meyakini adanya hari akhir dan hari penghitungan amal (hisab), menjalankan puasa, menjamu kaum miskin selama bulan Ramadhan, serta melaksanakan “kalimat Ibrahim”. Kebiasaan yang terakhir ini meliputi berkumur-kumur dengan air, menghirup air (membersihkannya) ke hidung lalu mengeluarkannya kembali, menggunting kumis dan membelah rambut (menjadi dua belahan) dan bersiwak (membersihkan mulut dengan kayu siwak), istinja’ (membersihkan kotoran setelah buang air besar dan kecil), memotong kuku, mencabuti bulu ketiak, mencukur rambut di bagian bawah perut, serta berkhitan.

Di antara nama-nama kaum Hunafa’ adalah :
1.      Quds bin Saidah al-Iyadi
2.      As’ad Abu Karib al-Himyari
3.      Abu Qays Shurmah bin Abi Anas al-Najjari
4.      Waqi’ bin Zuhair al-Iyadi
5.      Utaibah bin Rabiah al-Tsaqafi
6.      Umair bin Jundub al-Juhni
7.      Adi bin Zaid al-Ibadi
8.      Ilaf bin Syihab al-Tamimi
9.      Al-Multamis bin Umayyah al-Kinani
10.  Ubaid bin al-Abrash al-Asadi
11.  Abd al-Thabikhah bin Tsa’lab al-Qudha’i
12.  Kaab bin Luay bin Ghalib al-Quraisy (salah seorang kakek Nabi Muhammad)

Menurut riwayat, orang Quraisy selalu mendatangi Kaab bin Luay dan berkumpul tiap hari Jumat. Kepada mereka Kaab lalu memberi berbagai nasihat, menyuruh mereka berpikir mengenai penciptaan langit dan bumi, pergantian siang dan malam serta merenungkan perubahan yang dialami orang-orang terdahulu, menyuruh silaturahmi, mengucapkan salam, memenuhi janji, memelihara hak-hak kerabat dan bersedekah kepada fakir miskin. Tatapi diantara para Hunafa’ terdapat pula mereka yang menolak Islam dan memusuhi Nabi Muhammad. Tokoh kalangan ini yaitu Umayyah bin Abi Shalth al-Tsaqafi dari Bani Tsafiq di Thaif dan Amr bin Shaifi al-Ausi di Yatsrib. Ketika Nabi hijrah ke Madinah, Amr justru bergabung dengan orang Quraisy di Mekkah.
Para Hunafa’ Arab umumnya dapat membaca dan menulis, serta banyak di antara mereka memiliki kitab suci Ahlu al-Kitab. Mereka adalah para ahli piker tentang alam raya dan kehidupan di dalamnya. Tetapi mereka umumnya tidak menganut agama Yahudi atau Nasrani, karena dalam kedua agama itu mereka belum menemukan sesuatu yang melegakan dan membantu meringankan beban pikiran mereka tentang berbagai pertanyaan menyangkut fenomena alam. Banyak diantara mereka terbiasa berdiskusi dengan para penganut Yahudi dan Nasrani, membicarakan bersama hal-hal yang terkait dengan pemikiran atau pandangan keagamaan, baik di Semenanjung Arabia, di Irak maupun di Syam (Syiria). Seorang di antara mereka, bernama Jundub bin Amir bin Hamamah, diriwayatkan pernah berkata: “Sesungguhnya bagi setiap makhluk pasti ada penciptanya yang saya tidak tahu apa itu”. Ketika Islam ditawarkan, ia dating kepada Rasulullah SAW dan kemudian memeluk Islam.

Kamis, 26 April 2012

Sejarah Islam-Masyarakat Arab Sebelum Islam


MASYARAKAT ARAB SEBELUM ISLAM (2)

Tulisan ini diangkat dari karya Dr. Abdul Aziz, MA (Chiefdom)

Agama lain yang orang Arab peluk selain Yahudi adalah Nasrani. Agama ini bersemi di kalangan mereka melalui tangan para misionaris yang bekerja dan melebur diri di tengah masyarakat Badui. Diwartakan bahwa Mathran Bashri, seorang misionaris dari Damaskus, menjadi penasihat bagi sekitar 20 uskup yang tersebar di antara orang Arab Hauran dan Ghassan. Untuk maksud misi itu, mereka mendirikan banyak biara, termasuk biara persinggahan para saudagar untuk melepas lelah sambil minum nabidz (sejenis wine) yang dibuat sendiri oleh para pendeta. Kegiatan seperti ini didukung Kekaisaran Romawi yang berupaya menanamkan pengaruh politiknya di wilayah hunia Arab. Selain dipeluk oleh penguasa Kerajaan Ghassan (Ghasasinah) di wilayah Syria, agama Nasrani juga dipeluk oleh penduduk Hirah dan kabilah Taghlib, Iyad dan Bakar di wilayah Irak. Sebagian penduduk Taima, Daumat al-Jandal, Aylah dan Yamamah juga memeluk agama ini. Menjelang kedatangan Islam, orang Nasrani yang ada di Yatsrib, Mekkah, dan Thaif sangatlah sedikit. Tetapi di selatan, kaum Nasrani mendapat pijakan kuat di kota Najran, Ma’rib, San’a, Aden, dan sebagian Himyar. Hal ini menyediakan legitimasi bagi kehadiran Uskup Yaman sebagai peserta Konsili Nicea pada 325 M.
Selain agama-agama yang diuraikan di atas (Yahudi-Nasrani), ada juga orang Arab yang menganut agama atau paham keagamaan dalam jumlah relative sangat kecil, seperti penyembah bintang (Shabi’in) atau pemeluk agama Majusi. Paham keagamaan yang sangat penting tetapi hanya dianut sejumlah kecil orang Arab adalah apa yang disebut dengan hanifiyyah, penganutnya disebut hanif (jamak : hunafa’). Dalam bahasa Arab dan dalam teks-teks Arab selatan, arti kata hanif adalah “al-Shabi’, keluar dari agama kaumnya dan meninggalkan peribadatan mereka”, karena secara kebahasan diartikan “berbelok dari sesuatu dan meninggalkannya”. Sedangkan dalam bahasa Aram, kata itu bermakna munafik, kafir dan mulhid (keluar dari agamanya). Orang Mekkah menyebut Nabi Muhammad dan para pengikutnya al-Shabi’ (jamak: al-Shubat, orang-orang yang ingkar). Tetapi Islam menyebut Hunafa’ sebagai orang-orang terpuji yang mengingkari penyembahan berhala dan menganut agama Nabi Ibrahim. Mereka adalah golongan terpelajar yang mampu membaca dan memiliki sumber bacaan, bahkan memahami bahasa asing dan mengikuti perkembangan pemikiran di luar komunitas mereka sendiri.
Para ahli sejarah maupun ahli tafsir tidak memberi gambaran secara jelas mengenai paham keagamaan kaum Hunafa’: apa saja bentuk peribadatannya dan adakah kitab suci yang menjadi rujukan mereka. Meskipun mereka disebutkan berpegang pada agama Nabi Ibrahim, para ahli tidak memberi kejelasan apa dan bagaimana wujud sebenarnya agama Ibrahim itu. Jadi, tidak ada ajaran agama yang tersusun rapi yang disebut hanifiyyah atau kumpulan penganut yang tertata yang disebut Hunafa’. Karena itu, kaum Hunafa’ dapat diartikan sebagai sejumlah orang dari bermacam kabilah yang tidak memiliki ikatan satu sama lain tetapi mereka sama-sama menganggap nista penyembahan berhala dan akhlak buruk yang tersebar luas di masyarakat mereka saat itu yang menyerukan perbaikan (muslihun) melalui penyembahan kepada Tuhan Yang Maha Esa dan menjauhi akhlak kotor seperti bermabuk-mabukan atau berjudi. Beberapa di antara mereka condong ke agama Nasrani, tetapi tidak memeluknya sebagaimana dilakukan umat Nasrani saat itu. Seruan mereka mirip dengan seruan orang-orang yang menyembah Tuhan Yang Esa Penguasa Langit (Dzu Samawi) atau menyembah Yang Maha Kasih (al-Rahman) di Yaman.

Sejarah Islam-Masyarakat Arab Sebelum Islam


MASYARAKAT ARAB SEBELUM ISLAM (1)

Tulisan ini diangkat dari karya Dr. Abdul Aziz, MA (Chiefdom)
Agama Yahudi telah lama tersebar di berbagai wilayah Arab, seperti Kahibar, yatsrib (Madinah), Wadi al-Qura, Fadak, Taima,  dan di bagian selatan, khususnya Himyar.  Berbagai riwayat historis mengenai penyebaran agama ini dikalangan  orang Arab kurang begitu jelas. Salah satu riwayat mengaitkan penyebaran agama ini dengan peristiwa hijrahnya orang Yahudi dari Babilonia sekitar tahun 606 SM di masa Raja Nebukadnezar (Bukhtanasar) yang kekuasaannya mencakup Palestina. Riwayat lain menyebutkan, sebagian orang Yahudi bermigrasi ke wilayah selatan dari Kanaan di Palestina pada masa kekuasaan Romawi di bawah Kaisar Titus pada 70 M dan sebagian lagi pada masa Kaisar Adrianus tahun 132 M. 
Bagaimanapun, Palestina di masa silam merupakan bagian Semenanjung Arabia yang tidak memiliki perintang apapun bagi orang Yahudi untuk bermigrasi ke wilayah selatan Arabia, bukan hanya untuk mencari daerah subur tempat mengembangkan keahlian pertanian mereka tetapi juga untuk tujuan dagang dan keagamaan. Bukti sejarah berupa perkuburan orang Yahudi Himyar (Homeriton) di timur kota Haifa memperlihatkan bahwa generasi Yahudi Yaman banyak yang menjalin hubungan dengan orang Yahudi Palestina.
Gelombang pertama imigran Yahudi ke selatan diduga bermukim di Khaibar, sehingga daerah ini menjadi permukiman Yahudi tertua di selatan. Menurut sebagian ahli, Khaibar berasal dari kata Ibrani Kheber, berarti kelompok, jemaat, atau markas tentara.
Permukiman di daerah subur ini dimulai oleh Syaftia bin Mahlayel dari Bani Farish. Namun, Yatsrib-lah yang kemudian jadi pusat orang Yahudi Arab. Sebelum kedatangan mereka dari utara, di kota itu telah bermukim kabilah-kabilah Arab. Mereka menyambut baik kedatangan orang-orang Yahudi dan bahkan sebagian kecil kabilah Arab itu kemudian menganut agama Yahudi. Hal ini terlihat dari nama-nama kabilah yang asli Arab, seperti Bani Auf, Bani Ikrimah, atau Bani Tsa’labah. Maka, sebagian ahli menduga bahwa Yahudi Bani Qainuqa’ pun sebenarnya orang Arab yang telah lama memeluk agama itu.
Melalui kemampuan bertani, menjinakkan binatang, dan berdagang, orang Yahudi meraih pengaruh kuat di kota itu. Tetapi setelah kedatangan kabilah Arab dari selatan, al-Aus dan al-Khazraj, pengaruh merema melemah dan terkalahkan oleh kedua kabilah tersebut. Di selatan sendiri, Yahudi Arab dari keturunan Taban As’ad dan anaknya, Dzu Nuwas, berhasil membangun Kerajaan Himyar serta pernah menaklukkan kota Najran dan memaksa penduduknya yang beragama Nasrani memeluk Yahudi.

Sabtu, 07 April 2012

Syahadat (Makna Syar'i)


  MAKNA SYAR’I Syahadat

Syahadatain adalah perjanjian atau sumpah setia. Dalam sosialogi disebut “kontrak sosial”.  
Syahadatain merupakan pernyataan resmi bahwa ia telah memproklamasikan diri sebagai pemeluk Islam dan siap menerima segala macam peraturan atau hukum yang berlaku pada dirinya secara suka atau ridha.

Syahadatain adalah suatu bentuk pernyataan yang diucapkan oleh lisan setelah dibenarkan oleh hati pada saat melaksanakan rukun (syariat Islam) yang pertama.
Persaksian ini dilakukan ketika seseorang memasuki pintu gerbang Islam. (2/208). Dengan demikian, secara syar’I syahadatain memiliki 2 makna (Ikatan dan Perjanjian), yaitu :

a.  Ikatan (aqidah)
Aqidah menurut al-Qur’an artinya sangkutan, buhul. Dalam pengertian syar’i, makna aqidah adalah iman, keyakinan. 
Aqidah Islam adalah asas ajaran Islam. Kalimat yang menjadi ikatan dalam Islam adalah kalimat “la ilaha illa Allah” atau kalimat tauhid.

Ikatan dalam al-Qur’an dapat juga berarti mitsaq yaitu ikatan janji yang disepakati antara kedua belah pihak atas nama Allah, perjanjian damai, atau janji setia untuk melaksankan perintah Allah.

Orang yang telah mengadakan mitsaq kepada Allah, berarti dia telah mengadakan ikatan dengan Allah. Apabila seseorang mengadakan ikatan kepada Allah, berarti dia telah melepaskan dan mengingkari thogut… (2/256)
Dan barang siapa yang telah mengadakan ikatan ini berarti dia telah syah menjadi Muslim…… (5/7)

Barang siapa yang melepaskan ikatan ini, maka ia dikatagorikan :
1.     Fasik : 2/27-28
2.    Kafir / Murtad : 2/217
3.    Munafik : 60/1

Hanya Ulil Albab lah yang dapat mempertahankan ikatan ini 11/20

Tidak dibenarkan orang-orang yang beriman mengadakan ikatan dengan :
1.     Thogut QS. 16/36, 2/256
2.    Orang-orang kafir : 3/28, 4/144, 58/22 dan 60/1
3.    Orang-orang Yahudi atau Nasrani Qs. 5/51
4.    Orang-orang Munafik QS. 5/57
5.    Orang-orang di luar Muslim QS 3/118

b.  Perjanjian
Perjanjian adalah persetujuan tertulis maupun lisan yang dibuat oleh dua pihak atau lebih, yang masing-masing berjanji akan mentaati apa yang tersebut dalam persetujuan itu. 


Sedangkan berjanji adalah menyatakan bersedia dan sanggup untuk berbuat sesuatu (memberi, menolong dsb), menyanggupi akan menepati apa yang dikatakan atau yang telah disetujui. Perjanjian dalam al-Qur’an dapat berarti :
 
1.     Sumpah setia.
Salah satu ciri Negara modern adalah memiliki aturan tentang persyaratan seorang pejabat Negara apabila menduduki suatu jabatab sebelumnya dia harus melakukan ‘sumpah atau janji.

Syahadatain adalah perjanjian manusia dengan Allah dan antar manusia. Perjanjian dengan Allah, hubungannya dengan pengabdian dan ketaatan, sedangkan perjanjian dengan manusia hubungannya dengan kepemimpinan dan tanggung jawab. Perjanjian adalah sesuatu yang harus di pertanggung jawabkan. QS. 17/34, 33/15.

Hubungan syhadatain dengan perjanjian.
(Dan ingatlah) akan hari (ketika) Kami bangkitkan pada tiap-tiap umat seorang saksi atas mereka dari mereka sendiri dan Kami datangkan kamu (Muhammad) menjadi saksi atas seluruh umat manusia. Dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri. (16/89)

Pada ayat ini Allah menjelaskan tentang ‘seorang syahid’ dibangkitkan pada setiap ummat dari kalangan umat itu sendiri. Sebagai ‘saksi’ adalah salah satu fungsi ‘kerasulan’ dalam proses pelaksanaan ‘syahadatain’,

Seseorang yang telah melaksankan perjanjian harus berusaha utuk menepati perjanjian tersebut………QS. 16/91-98, 13/20, 8/56 dan 2/83

2.    Sumpah atau Janji
Sumpah adalah pernyataan yang mengandung konsekuensi hukum…. 
Dan orang-orang yang beriman akan mengatakan: "Inikah orang-orang yang bersumpah sungguh-sungguh dengan nama Allah, bahwasanya mereka benar-benar beserta kamu?" Rusak binasalah segala amal mereka, lalu mereka menjadi orang-orang yang merugi. (5/53)

Sumpah adalah sebagai perisai……
Mereka menjadikan sumpah-sumpah mereka sebagai perisai, lalu mereka halangi (manusia) dari jalan Allah; karena itu mereka mendapat azab yang menghinakan. (58/16), 

Sumpah adalah bentuk kesiapan untuk melaksanakan hukum…..
Dan mereka bersumpah dengan nama Allah sekuat-kuat sumpah, jika kamu suruh mereka berperang, pastilah mereka akan pergi. Katakanlah: "Janganlah kamu bersumpah, (karena ketaatan yang diminta ialah) ketaatan yang sudah dikenal. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (24/53).

Syahadatain adalah sumpah atau janji yang mengandung konsekuensi hukum dan kesiapan untuk melaknakan kewajiban sebagai muslim.
Atau apakah kamu memperoleh janji yang diperkuat dengan sumpah dari Kami, yang tetap berlaku sampai hari kiamat; sesungguhnya kamu benar-benar dapat mengambil keputusan (sekehendakmu)? (68/39).

c.   Kontrak social
Adalah persetujuan yang bersangsi hukum antara dua pihak atau lebih untuk melakukan atau tidak melakukan. Kontrak sosial adalah persetujuan antara makmum dengan imam untuk melaksankan sesuatu yang dianggap benar oleh kedua belah pihak.
Dalam syariat Islam kontrak sosial adalah Bai’at : adalah pengucapan sumpah atau janji setia kepada imam, atau pernyataan kesanggupan dan kesiapan taat dan patuh kepada Nabi atau kepada imam atau khalifah selama tidak melanggar ketentuan agama. 



Syahadat Makna Murodif


SYAHADAT (MAKNA MURODIF)

          Kata syahadat (شهده)  merupakan mashdar dari kata “ syahida-yashadu-syahaadatan “. Artinya menyaksikan. Syahadatain artinya persaksian atau “transaksi”.
          Secara bahasa syahadatain terbagi menjadi dua, yaitu Musytarak ( satu kata mengandung banyak arti) dan Muradif ( satu arti banyak kata).


2.     MAKNA MURODIF, didalam al-Qur’an syahida mempunyai persamaan kata, antara lain :
a.    I’lan (Proklamasi, pernyataan) adalah pemberitahuan kepada umum. Seseorang yang melaksanakan syahadatain artinya dia telah memproklamasikan kepada yang lain bahwa dirinya seorang muslim.

Dan di antara manusia ada orang yang ucapannya tentang kehidupan dunia menarik hatimu, dan dipersaksikannya kepada Allah (atas kebenaran) isi hatinya, padahal ia adalah penantang yang paling keras.

Firman ini berhubungan dengan kaum Munafiqun (60/1). Mereka menyatakn dengan lisan, tapi tidak sama dengan isi hatinya. Mereka sebenarnya kufur kepada Allah namun mereka memproklamasikan dirinya bahwa dirinya adalah seorang muslim/mukmin.

Syahadat yang berarti proklamasi, sebagaimana firman-Nya:

Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah), Yang menegakkan keadilan. Para Malaikat dan orang-orang yang berilmu[188] (juga menyatakan yang demikian itu). Tak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah), Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.

b.    Sumpah (Al-Qosam) adalah : suatu pernyataan yang diucapkan dengan resmi dan dengan bersaksi kepada Tuhan atau yang dianggap suci (untuk menguatkan kebenaran dan kesungguhan). Pernyataan ini disertai tekad untuk melakukan sesuatu yang menguatkan kebenaran dan berani mennderita kalau pernyataan itu tidak benar.

Istrinya itu dihindarkan dari hukuman oleh sumpahnya empat kali atas nama Allah sesungguhnya suaminya itu benar-benar termasuk orang-orang yang dusta. (24/8)

Apabila seorang mukmin melaksanakan syahdatain, artinya dia sedang melakukan sumpah. Bersumpah disini artinya adalah pernyataan kesediaan disertai tekad melaksanakan syariat Islam yang di yakini kebenarannya serta siap menerima akibat dan resiko dari sumpah yang diucapkan.

Dan mereka bersumpah dengan nama Allah sekuat-kuat sumpah, jika kamu suruh mereka berperang, pastilah mereka akan pergi. Katakanlah: "Janganlah kamu bersumpah, (karena ketaatan yang diminta ialah) ketaatan yang sudah dikenal. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (24/53)

c.   Pengakuan (ikrar), adalah berjanji dengan kesungguhan hati atau pengakuan terhadap suatu kebenaran. Ikrar yang memiliki kesamaan makna dengan syahadat….

Dan (ingatlah), ketika Kami mengambil janji dari kamu (yaitu): kamu tidak akan menumpahkan darahmu (membunuh orang), dan kamu tidak akan mengusir dirimu (saudaramu sebangsa) dari kampung halamanmu, kemudian kamu berikrar (akan memenuhinya) sedang kamu mempersaksikannya. (2/84).

Mengikrarkan syahadatain berarti dia telah mengakui kebenaran al-Islam. Ikrar ini pernah dilakukan oleh para nabi kepada Allah.
Dan (ingatlah), ketika Allah mengambil perjanjian dari para nabi: "Sungguh, apa saja yang Aku berikan kepadamu berupa kitab dan hikmah kemudian datang kepadamu seorang rasul yang membenarkan apa yang ada padamu, niscaya kamu akan sungguh-sungguh beriman kepadanya dan menolongnya"[209]. Allah berfirman: "Apakah kamu mengakui dan menerima perjanjian-Ku terhadap yang demikian itu?" Mereka menjawab: "Kami mengakui." Allah berfirman: "Kalau begitu saksikanlah (hai para nabi) dan Aku menjadi saksi (pula) bersama kamu."(3/81)

d.    Ahdi (Mitsaq), adalah janji setia untuk mendengar dan taat dalam segala keadaan terhadap semua perintah Allah yang terkandung dalam Kitabullah atau Sunnah Rasul.
Bahwasanya orang-orang yang berjanji setia kepada kamu sesungguhnya mereka berjanji setia kepada Allah[1396]. Tangan Allah di atas tangan mereka[1397], maka barangsiapa yang melanggar janjinya niscaya akibat ia melanggar janji itu akan menimpa dirinya sendiri dan barangsiapa menepati janjinya kepada Allah maka Allah akan memberinya pahala yang besar. (48/10)
Dan tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kamu berjanji dan janganlah kamu membatalkan sumpah-sumpah(mu) itu, sesudah meneguhkannya, sedang kamu telah menjadikan Allah sebagai saksimu (terhadap sumpah-sumpahmu itu). Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang kamu perbuat. (16/91)

Senin, 02 April 2012

SYAHADAT (Makna Musytarak)


SYAHADAT (Makna Musytarak)
          Kata syahadat (شهده)  merupakan mashdar dari kata “ syahida-yashadu-syahaadatan “. Artinya menyaksikan. Syahadatain artinya persaksian atau “transaksi”.
          Secara bahasa syahadatain terbagi menjadi dua, yaitu Musytarak ( satu kata mengandung banyak arti) dan Muradif ( satu arti banyak kata).
1.     MAKNA MUSYTARAK.
Dalam al-Qur’an kata syahida mempunyai arti yang berbeda-beda, tergantung kepada kalimat yang mengikutinya….
a.  Menyaksikan. 10/81
Kembalilah kepada ayahmu dan katakanlah: "Wahai ayah kami! Sesungguhnya anakmu telah mencuri, dan kami hanya menyaksikan apa yang kami ketahui, dan sekali-kali kami tidak dapat menjaga (mengetahui) barang yang ghaib.
b.  Menghadiri 27/32
Berkata dia (Balqis): "Hai para pembesar berilah aku pertimbangan dalam urusanku (ini) aku tidak pernah memutuskan sesuatu persoalan sebelum kamu berada dalam majelis(ku)."
c.   Menyatakan 2/204
Dan di antara manusia ada orang yang ucapannya tentang kehidupan dunia menarik hatimu, dan dipersaksikannya kepada Allah (atas kebenaran) isi hatinya, padahal ia adalah penantang yang paling keras.
d.  Mengakui 4/160
(Mereka tidak mau mengakui yang diturunkan kepadamu itu), tetapi Allah mengakui Al Quran yang diturunkan-Nya kepadamu. Allah menurunkannya dengan ilmu-Nya; dan malaikat-malaikat pun menjadi saksi (pula). Cukuplah Allah yang mengakuinya.
e.  Mengikuti 4/172
Al Masih sekali-kali tidak enggan menjadi hamba bagi Allah, dan tidak (pula enggan) malaikat-malaikat yang terdekat (kepada Allah)[386]. Barangsiapa yang enggan dari menyembah-Nya, dan menyombongkan diri, nanti Allah akan mengumpulkan mereka semua kepada-Nya.
f.   Mengetahui 3/70
Hai Ahli Kitab, mengapa kamu mengingkari ayat-ayat Allah[202], padahal kamu mengetahui (kebenarannya).

Minggu, 01 April 2012

Arti Al-Qur'an


AL-QUR’AN


Definisi Qur’an :
1.          Menurut bahasa Qur’an adalah bacaan
2.   Menurut resminya/ istilah adalah redaksi Illahi atau pembicaraan Allah yang diturunkan kepada rasul-NYA Muhammad saw yang isinya terdiri dari ayat-ayat dan ajaran yang bijaksana (berbentuk  kata-kata, tulisan yang terhimpun diantara dua jiid (kulit) mushaf.
3.      Menurut Syariat adalah petunjuk untuk manusia dan penjelas dari petunujuk dan pembeda, (2/185) itulah bentuk Hudan yang kongkrit.
a.       maka Hudan adalah gambaran huruf-huruf yang berlafaz mempunyai ma’na yang luas/ dalam dan dia terkumpul diantara dua kulit mushaf.
b.   sedangkan Bayinat adalah : yang dalam bentuk kenyataan (kongkrit) itulah tanda-tanda yang nyata di alam ini.
c.    dan Furqon adalah yang memisahkan diantara dua yang berlainan/berlawanan sebagai kesimpulan ma’na Hudan dan Bayinat (membedakan antara kesimpulan ma’na Hudan dan Bayinnat disatu pihak dengan lainnya dilain pihak).

Maka Qur’an dengan rumus tiga (Hudan, Bayinat, Furqon) sebagai mana yang dijelaskan Allah :QS.  29/48-49 dan Allah misalkan dengan pohon yang baik (akar, batang, buah), dalam QS. 14/24-25.
            Maka di dalam perumpamaan khusus ini telah panjang lebar, maka marilah kita perhatikan bacaan tentang  Prinsip Tiga , ini penting! Karena Prinsip Tiga itu sebagai kebenaran (yang Haq), yang demikian itu.

Al-Ashlu         (akar)               sebagai            Hudan       
Al-Far’u         (batang)            sebagai            Bayyinah
Al-Ukul           (buah)              sebagai            Furqon

ini adalah rumus Prinsip Tiga
            Qur’an yang sebenarnya itu adalah wahyu Illahi yang tidak bersuara dan tidak berhuruf, tetapi dia ayat yang nyata/kongkrit yang berakar (Al-Ashlu) dan tersimpan di dalam dada orang-orang yang di beri ilmu sebagaimana di jelaskan Allah SWT.
Untuk rumus Qur’an yang Tiga tersebut ada bacaan-bacaan yang berbeda yang di khususkan antara satu dan yang lainnya.
1.      Maka bacaan ‘HUDAN’ adalah dengan ‘TADABARUN’ (meneliti) lihat QS. 47/24.
2.      Bacaan BAYYINAH adalah dengan ‘TAFAKARUN’ (diffikir/analisa) lihat QS 3/191.
3.      Bacaan ‘FURQON’ adalah dengan ‘TABAYUN’ (penegasan/kongkrit/tegasin) lihat QS. 49/6.

Dan perintah baca yang pertama-tama diturunkan kepada hamba-NYA Muhammad SAW (iqra) yaitu bacaan bayinah (huruf kasar) akan tetapi tidak menjadi petunjuk  karena belum diturunkan secara sempurna kecuali  yang asli (awal dari yang pertama kali), yaitu ayat al-alaq sebagaimana telah kita bicarakan dan pada saat itu terpeliharalah di dalam dadanya.
            Kemudian bacaan Qur’an dengan cara-caranya yang tiga tersebut : (Tadabur, Tafakur, Tabayun) mesti menjadikan ; sebagaimana Firman Allah QS. 75/16-19, yakni jangan tergesa-gesa dalam membacanya. Dan cara membacnya ikutilah cara bacaan Allah, kemudian Allah memperkuat dengan Firman-NYA QS. 20/114.  7/106. Demikianlah cara membaca Qur’an disisi Allah. Jadi kalau kita mau membaca Qur’an ikutilah bacaan sebagai mana  Muhammad saw membacanya karena cara bacaan Muhammad adalah cara bacaan Allah.