PERJALANAN SEJARAH UMAT ISLAM BANGSA
INDONESIA
Tulisan ini diangkat dari karya
Dr. Abdul Aziz, MA (Chiefdom)
Pada tahun 1922 dua tokoh SI Putih yaitu HOS
Cokroaminoto dan H. Agus Salim memprakarsai penyelenggaraan Kongres al-Islam
Hindia yang pertama di Cirebon. Para peserta kongres terdiri dari tokoh SI
Putih, unsure Muhammadiyah, al-Irsyad, serta beberapa tokoh yang dipandang
mewakili kubu tradisionalis yang saat itu belum memiliki organisasi sendiri,
diantaranya KH A. Wahab Chasbullah dari Surabaya dan KH Asnawi dari Kudus.
Kongres sejenis ini berlangsung Sembilan kali secara tidak teratur, terakhir
kali diadakan pada 1932.
Dalam serial Kongres al-Islam dibahas berbagai
persoalan keagamaan dan respons umat Islam terhadap persoalan kekhalifahan.
Pada Kongres I, misalnya didiskusikan mengenai situasi di Turki, walaupun
terjadi perbedaan pandangan tentang dukungan terhadap kekuasaan Kemal Ataturk
dan pemerintahan khalifah Abdul Majid yang menjadi bonekanya. Pada Kongres II
tahun 1924, bersamaan dengan penghapusan kekhalifahan Turki Utsmani dan
proklamasi Syarif Husein di Mekkah sebagai khalifah umat Islam, didiskusikan
pula mengenai pentingnya kesatuan umat Islam di bawah kekuasaan satu khalifah.
Tetapi, para peserta sulit mencapai kesepakatan siapakah yang akan didukung
sebagai khalifah bagi kaum Muslim seluruh dunia. Pada bulan Desember tahun ini
pula, Kongres al-Islam Luar Biasa diselenggarakan di Surabaya. Kongres ini
dipersiapkan oleh kepanitiaan yang disebut Centraal Committee Chilafat, yang
dibentuk sebagai respons atas undangan menghadiri Kongres Khilafah yang
diterima oleh beberapa tokoh Arab Indonesia pada Oktober 1924.
Dalam Kongres Luar Biasa yang dihadiri lebih
dari 600 peserta itu, disepakati untuk mengirim delegasi terdiri dari dua
orang, atau tiga orang jika dananya cukup, untuk menghadiri Kongres Khilafah di
Kairo, kegita orang yang dimaksud yaitu Haji Fakhruddin dari Muhammadiyah, Haji
Abdul Wahab Chasbullah mewakili kaum tradisionalis, dan Soerjopranoto selaku
pemimpin SI. Kongres Luar Biasa ini juga menyepakati beberapa rekomendasi
tentang “Khilafah yang modern, representative dan dipilih” yang akan dibawa ke
Kairo. Butir-butir rekomendasi ini antara lain:
1. Harus dibentuk sebuah Majelis Khilafah
yang dipimpin oleh seorang Khilafah.
2. Anggota Majelis Khilafah terdiri dari
pada perwakilan kaum Muslim dari berbagai Negara untuk masa bakti yang
ditetapkan oleh Majelis.
3. Perlu diterapkan apakah tugas Majelis
terhadap masyarakat Muslim dunia mencakup masalah-masalah keduniaan dan
keakhiratan, atau hanya terbatas pada masalah keakhiratan saja.
4. Khalifah harus dipilih oleh para
anggota Majelis Khilafah.
5. Majelis Khilafah harus berkedudukan di
wilayah Muslim yang independen seperti Mekkah.
6. Seluruh pembiayaan Majelis Khilafah
ditanggung bersama oleh seluruh kaum Muslim dan dibebankan kepada setiap Negara
anggota sesuai kemampuan masing-masing.
Tak lama setelah Kongres Luar Biasa digelar,
datang berita dari Kairo bahwa Kongres Khilafah diundur setidaknya satu tahun
ke depan. Tetapi pada awal 1925, Ibnu Saud, penguasa baru di Jazirah Arabia,
mengumumkan keinginannya untuk menyelenggarakan kongres Muslim sedunia di
Mekkah yang menjadikan Muslim Indonesia menghadapi dilemma untuk memilih
kongres mana yang akan dihadiri kelak dari kedua kongres yang saling bersaing
itu. Dalam Kongres al-Islam IV pada Agustus 1925 di
Yogyakarta, bibit perpecahan antara kaum reformis dan kaum tradisionalis muncul
ke permukaan, karena salah satu agenda kongres adalah reformasi social, ekonomi
dan kebudayaan berdasarkan prinsip-prinsip ajaran Islam, yang menimbulkan
perbedaan penafsiran di antara dua kubu.